Seorang ulama besar di Bagdad, Irak, Maruf al-karkhy namanya. Beliau hidup sesudah periode zaman Rabiah al-Adawiyah. Ciri khas semasa hidupnya, beliau berjalan kaki kemana saja tanpa mau memakai sandal. Setiap hari selama 24 jam ke dua kakinya dibiarkan bergesakan dengan tanah.
Anehnya, seorang sufi yang lain di kota itu, tiba-tiba merasakan kejadian ganjil pada suatu siang. “Gawat ini, apa yang sedang terjadi?’ Matanya sufi tersebut melihat se-ekor Keledai membuang kotoran di jalan. Kawan dekatnya sang sufi kemudian justru balik bertanya, menyelidik, ‘Lho kenapa ya, syeih?’ Sang sufi langsung menjawab dengan geragapan. ‘Sepertinya, ada yang meninggal. Karena sepanjang syeik Maruf al-karki hidup, tidak ada binatang yang membuang kotoran di jalan. Karena menghargai Mar’uf al-Karkhy yang berjalan tanpa memakai alas kaki.’
Itulah karomah agung atas kealiaman, ketawadukan beliau sepanjang hidupnya. Tidak hanya manusia saja, binatang pun turut serta menghormati beliau. Wali besar yang sampai sekarang kita sawuk cerita-cerita hikmahnya. Kita resapi nilai-nilai luhur hidupnya. Kisah teladan seperti ini, nampaknya dalam pikiran kita, dalam ingatan kita, tenggelam oleh informasi baru. Kita memang sangat sibuk mengurus dunia. Dan terus terang saja, hal-hal picisan lain’nya sering mengepung kehidupan kita tanpa ampun. Hidup kita ini lama-lama bergerak minim penghayatan dan perenungan. ‘Gizi buruk’ untuk kehidupan ruhaniah kita.
Anda-anda semua lihat saja. Di musim pemilu ini perhatian besar kita saban hari lebih terfokus kepada layar kaca berita di tv. Membaca koran, majalah dan berita daring sudah seperti makan kacang goreng saja. Pusat berita nasional bergerak menyoroti sekelompok orang yang berebut kue. Watak media masa Indonesia menyukai bad-news. Berita buruk. Tapi inilah zaman telanjang bulat. Kita sedang mengalaminya secara terang-terangan. Meskipun merasakan kejenuhan yang sangat luar biasa. Tapi nikmat-nikmat saja, kita masyarakat biasa. Yang tidak ikut ikutan arus gragas besar-besaran.
Hidup di Idonesia memang tidak boleh terjebak dengan kategori. Yang di sangka memakai sorban dan peci belum tentu seorang ulama. Para tersangka korupsi di kementrian agama, maupun tersangkaa korupsi yang lain. Bukannya malah tertunduk malu dan minta maaf ke masyarakat, justru kedua tangannya melambaikan ke wartawan dan tertawa bebas seperti tanpa beban dan dosa. Bagaimana, kalau orang-orang seperti ini kita pakaikan sorban? Peci? Atau sarung?. Masihkan di anggap orang yang paling mengerti agama atau mewakili kelompok ormas bergama?
Wabadu. Syukurlah..!
Tolong dengan saya mengucap kalimat toyibah ini jangan di anggap saya sedang mencalon-calonkan diri sebagai kiai. Saya, dan sampean-sampean semua sedang menumpuk berdrum-drum kesabaran di tengah zaman ‘bias kategori,’ yang susah membedakan mana kiai, mana idola, mana hanya sekedar topeng. Kita semua sangat absah sedang tersesat masal. Makanya Allah menyediakan mekanisme naqqliyah-nya, ‘ Ihdinash-shiroothol – mustaaqiim..’
Untunglah di tengah hawa kering, sumpek dan bising ini, saya masih teringat mengenai cerita santrinya Syaeikh Maruf al-Kharky — Syaeih Sariy as-Saqathy namanya. Beliau wafat 253 H atau 967 M. Seorang yang sangat populer dengan ke-arif-fan’nya, bijaksananya, dan rendah hatinya. Sama seperti ciri khas perilaku gurunya. Cerita ini aku sarikan dari buku ‘Membuka Pintu Langit’ karangan Kyai Mustofa Bisri.
Beliau — — Syaeih Sariy as-Saqathy – pernah bercerita amat menyentuh, ‘Tiga puluh tahun aku beristigfar. Memohon ampun kepada Alllah. Atas ucapanku yang salah, mengucap ‘Allhamdulillah..’’
‘Loh, bagaimana itu bisa terjadi, syeih?’ tanya kawan dekatnya yang mendengarnya.
‘Terjadi kebakaran besar di Bagdad,’ kata Syeikh menjelaskan. ‘Lalu ada orang yang datang kepadaku, dan mengabariku. Bahwa tokoku selamat dan tidak ikut terbakar. Aku waktu itu, spontan saja mengucap ‘Allhamdulillah’. Maka ucapan itulah yang aku sesali selama tiga puluh tahun ini. Aku menyesali ucapanku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain di sekitarku.’
Selama tiga puluh tahun – wali besar – Syeikh Sariy as-Saqathy, terus saja menyesali salah ucapan yang tidak sesuai pada tempatnya itu. Jika merujuk pada filsafat jawa. Yang akrab di telinga kita dengan rumuskan baku: tidak empan-papan. Artinya, jika boleh aku menerjemahkan, dengan ucapan allhamdulillah itu, beliau menyesali rasa tebal perhatian hidupnya, sehingga tidak peka terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya. Saya, juga sampean-sampeyan sekalian, meskipun bukan seorang wali mudah sekali memahami penyesalan sikap Syeih Sariy as-Saqathy.
Pendek kata, orang yang berlebihan mencintai diri sendiri, adalah orang yang bergerak mencari kebahagian hidup yang sumber pusatnya adalah materi. Apa benar materi sebagai segala-galanya sumber kebahagian hidup manusia?. Sedangkan pusat gerak-gerik perpecahan antar kelompok manusia di segala zaman, mereka yang berebut kekuasaan, jabatan, pengaruh, maupun jenis materi yang lain.
Rupanya zaman semakin gemebyar saja. Semoga kita tetap lulus menjadi manusia. Salah satu unsur menjadi manusia adalah dengan menjaga sopan-santun kita di lingkungan masyarakat. Itu saja sudah.., ‘Khoirunnas anfa’uhum linnas…’
Surabaya, 30 Maret 2019
Kiaikenduri